Manusia
memerlukan pilihan. Mahasiswa memerlukan pilihan. Tak peduli seberapa besar
ukuran yang diberikan oleh pilihan tersebut terhadap kehidupan umum yang
mempengaruhinya, ia tetap berhak dan harus menggunakan pilihan tersebut dalam
sebuah pergantian yang bagaimanapun juga, menuntut sepercik keinginan untuk memperbaiki
kekurangan di masa lalu dengan perbaikan di masa depan. Siapapun hanya dapat
menggunakan pilihan untuk memproklamirkan keinginan tipisnya itu.
Sayangnya,
semakin berjalannya waktu, orang-orang cenderung menyepelekan dan mulai
terbiasa dengan acara tahunan yang dimottokan sebagai “kesempatan untuk
memilih” itu. Slogan-slogan “ayo mencoblos”, “salam kelingking bertinta”,
“pilihanmu adalah masa depanmu” menjadi suara-suara sayup di tengah kesibukan
akademik mahasiswa yang akan lenyap dalam hitungan hari. Bahkan, hanya
orang-orang tertentu yang menikmati euforia hari pemilihan raya tersebut dalam
dunianya sendiri yang penuh lingkaran dan nyaris tak tersentuh oleh
pertanyaan-pertanyaan polos untuk mengetahui lebih jauh siapa saja orang-orang
yang dipilih untuk memimpin dirinya dan orang-orang di sekitarnya selama kurun
satu tahun ke depan.
Di
balik lipatan politik yang tidak semua orang dapat membacanya secara langsung,
Pemilihan Raya HMTP, BEM-FT Undip dan BEM-KM Undip, mengandung sifat yang
mirip, walaupun memiliki simpul yang berbeda-beda. Kita tidak dapat mengenal
siapa yang dicalonkan menjadi ketua ketiga lembaga tersebut, termasuk
meramalkan bagaimana kemampuannya mengelola sebuah organisasi dan mengatur
orang-orang penting di dalamnya, apabila kita hanya menjadi mahasiswa yang
hanya terfokus dengan urusan akademik sehingga melupakan dinamika kegiatan
kehidupan di kampusnya, dimana proses memimpin-dipimpin adalah kudapan setiap
hari melalui organisasi maupun diskusi mengenai hal-hal umum yang sekiranya
hangat untuk diperbincangkan. Kita hanya dapat menginterpretasikan seseorang
melalui penampilan luarnya, -atau bahkan dalam ranah yang lebih subjektif-,
melalui wajahnya, melalui urat senyumnya, dan keyakinan yang tersirat dari
pandangan matanya, yang –tentu saja- hanya dilihat sekilas dari foto. Sedikit
pengecualian bagi calon ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan, yang mungkin sudah
banyak orang yang mengenal, atau setidaknya pernah melihat caranya bicara atau
berjalan. Di Jurusan, siapapun yang tidak mengenal sesama mahasiswa menjadi
sedikit tabu, terutama untuk satu angkatannya sendiri.
Tidak
semua orang menganggap organisasi sebagai sesuatu yang menarik, dan hal itulah
yang mengurangi (secara drastis) minat untuk memilih siapa yang akan menjadi
ketua organisasi dalam satu tahun ke depan. Untuk selanjutnya, apabila yang
dilakukan seorang pemimpin hanyalah mengulangi apa yang dilakukan pemimpin
sebelumnya, maka minat mahasiswa untuk menggunakan hak pilihnya akan tetap
sama, atau mungkin semakin berkurang. Mahasiswa awam, yang tak begitu
memperhatikan sebuah proses, otomatis akan melihat suatu keberhasilan dari
“hasil” itu sendiri. Sebuah organisasi akan dielu-elukan dan banyak dibicarakan
orang-orang di sekitarnya apabila berhasil menciptakan “sesuatu” yang drastis,
bukan “usaha” yang drastis.
Perlu
adanya hubungan eksternal yang berbeda, antara seorang pemimpin, atau ketua,
dengan mahasiswa lain di sekitarnya, di luar lingkar kepengurusannya sendiri.
Hubungan yang hangat dan menjunjung tinggi kesetaraan akan mengubah defisisi
tentang seorang ketua menjadi sebuah pimpinan, panutan, atau cermin sebuah
kebesaran dan kesahajaan, bukan seseorang yang terperangkap di tahta teratas
dan hanya sibuk mencari jalan keluar labirin yang diciptakan dari sistem
prosedural yang menghambatnya bergerak bebas, kesana-kemari. Di kawasannya
sendiri. Perlu dijadikan catatan juga, bahwa untuk mempertahankan sebuah
persepsi orang-orang, perlu adanya kondisi yang memungkinkan semuanya berjalan
sebagaimana mestinya. Seperti kawat, sebuah persepsi orang-orang mengenai
seseorang dapat dibuat kaku, akan tetapi dapat dengan mudah dibengkokkan.
Mahasiswa
juga perlu mengetahui, bahwa dalam satu hari itu, di hari “pencoblosan” itu, ia
akan mengalami pergantian pemimpin yang (harus) bertangguang jawab terhadapnya,
bukan terhadap program kerja yang dibuatnya. Menjadi mahasiswa merupakan proses
yang memimpin-dipimpin menjadi kondisi yang ditemui sehari-hari di
lingkungannya. Apabila ketua Himpunan & ketua BEM adalah Presiden, maka
mahasiswa adalah Rakyatnya. Kita sering tidak mau melihat bagaimana seseorang
memimpin sebuah lembaga eksekutif (terutama BEM) dan bingung akan memilih salah
satu foto yang terpampang di surat suara, dimana kemungkinan kita benar-benar
mengenal calon ketua di foto-foto tersebut amatlah kecil. Patut diingat bahwa
pemilihan raya adalah hajatan demokratis tahunan yang menghabiskan banyak biaya
untuk mempersiapkan kotak suara, mengeprint surat suara hingga ratusan-ribuan
lembar, yang nantinya dibuang begitu saja setelah semua acara selesai dan
pemimpin baru telah dipilih. Dibalik semua itu, selalu terdapat mahasiswa lain
yang sejajar dengan kira yang akan dipimpin oleh ketua HMTP, BEM-FT, dan
BEM-KM. Siapapun yang terpilih nantinya tetap akan memberikan pengaruh (sekecil
apapun itu) , bukan hanya terhadap kita, namun juga terhadap ratusan mahasiswa
lain di Jurusan dan ribuan mahasiswa lain di Fakultas Teknik dan Universitas
Diponegoro.
(Semarang,
18/12/2015)