Kamis, 17 Desember 2015

Pemilihan Raya HMTP, BEM-FT & BEM-KM Undip, Harapan yang Tertuang dan Terulang


Manusia memerlukan pilihan. Mahasiswa memerlukan pilihan. Tak peduli seberapa besar ukuran yang diberikan oleh pilihan tersebut terhadap kehidupan umum yang mempengaruhinya, ia tetap berhak dan harus menggunakan pilihan tersebut dalam sebuah pergantian yang bagaimanapun juga, menuntut sepercik keinginan untuk memperbaiki kekurangan di masa lalu dengan perbaikan di masa depan. Siapapun hanya dapat menggunakan pilihan untuk memproklamirkan keinginan tipisnya itu.
Sayangnya, semakin berjalannya waktu, orang-orang cenderung menyepelekan dan mulai terbiasa dengan acara tahunan yang dimottokan sebagai “kesempatan untuk memilih” itu. Slogan-slogan “ayo mencoblos”, “salam kelingking bertinta”, “pilihanmu adalah masa depanmu” menjadi suara-suara sayup di tengah kesibukan akademik mahasiswa yang akan lenyap dalam hitungan hari. Bahkan, hanya orang-orang tertentu yang menikmati euforia hari pemilihan raya tersebut dalam dunianya sendiri yang penuh lingkaran dan nyaris tak tersentuh oleh pertanyaan-pertanyaan polos untuk mengetahui lebih jauh siapa saja orang-orang yang dipilih untuk memimpin dirinya dan orang-orang di sekitarnya selama kurun satu tahun ke depan.
Di balik lipatan politik yang tidak semua orang dapat membacanya secara langsung, Pemilihan Raya HMTP, BEM-FT Undip dan BEM-KM Undip, mengandung sifat yang mirip, walaupun memiliki simpul yang berbeda-beda. Kita tidak dapat mengenal siapa yang dicalonkan menjadi ketua ketiga lembaga tersebut, termasuk meramalkan bagaimana kemampuannya mengelola sebuah organisasi dan mengatur orang-orang penting di dalamnya, apabila kita hanya menjadi mahasiswa yang hanya terfokus dengan urusan akademik sehingga melupakan dinamika kegiatan kehidupan di kampusnya, dimana proses memimpin-dipimpin adalah kudapan setiap hari melalui organisasi maupun diskusi mengenai hal-hal umum yang sekiranya hangat untuk diperbincangkan. Kita hanya dapat menginterpretasikan seseorang melalui penampilan luarnya, -atau bahkan dalam ranah yang lebih subjektif-, melalui wajahnya, melalui urat senyumnya, dan keyakinan yang tersirat dari pandangan matanya, yang –tentu saja- hanya dilihat sekilas dari foto. Sedikit pengecualian bagi calon ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan, yang mungkin sudah banyak orang yang mengenal, atau setidaknya pernah melihat caranya bicara atau berjalan. Di Jurusan, siapapun yang tidak mengenal sesama mahasiswa menjadi sedikit tabu, terutama untuk satu angkatannya sendiri.
Tidak semua orang menganggap organisasi sebagai sesuatu yang menarik, dan hal itulah yang mengurangi (secara drastis) minat untuk memilih siapa yang akan menjadi ketua organisasi dalam satu tahun ke depan. Untuk selanjutnya, apabila yang dilakukan seorang pemimpin hanyalah mengulangi apa yang dilakukan pemimpin sebelumnya, maka minat mahasiswa untuk menggunakan hak pilihnya akan tetap sama, atau mungkin semakin berkurang. Mahasiswa awam, yang tak begitu memperhatikan sebuah proses, otomatis akan melihat suatu keberhasilan dari “hasil” itu sendiri. Sebuah organisasi akan dielu-elukan dan banyak dibicarakan orang-orang di sekitarnya apabila berhasil menciptakan “sesuatu” yang drastis, bukan “usaha” yang drastis.
Perlu adanya hubungan eksternal yang berbeda, antara seorang pemimpin, atau ketua, dengan mahasiswa lain di sekitarnya, di luar lingkar kepengurusannya sendiri. Hubungan yang hangat dan menjunjung tinggi kesetaraan akan mengubah defisisi tentang seorang ketua menjadi sebuah pimpinan, panutan, atau cermin sebuah kebesaran dan kesahajaan, bukan seseorang yang terperangkap di tahta teratas dan hanya sibuk mencari jalan keluar labirin yang diciptakan dari sistem prosedural yang menghambatnya bergerak bebas, kesana-kemari. Di kawasannya sendiri. Perlu dijadikan catatan juga, bahwa untuk mempertahankan sebuah persepsi orang-orang, perlu adanya kondisi yang memungkinkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Seperti kawat, sebuah persepsi orang-orang mengenai seseorang dapat dibuat kaku, akan tetapi dapat dengan mudah dibengkokkan.
Mahasiswa juga perlu mengetahui, bahwa dalam satu hari itu, di hari “pencoblosan” itu, ia akan mengalami pergantian pemimpin yang (harus) bertangguang jawab terhadapnya, bukan terhadap program kerja yang dibuatnya. Menjadi mahasiswa merupakan proses yang memimpin-dipimpin menjadi kondisi yang ditemui sehari-hari di lingkungannya. Apabila ketua Himpunan & ketua BEM adalah Presiden, maka mahasiswa adalah Rakyatnya. Kita sering tidak mau melihat bagaimana seseorang memimpin sebuah lembaga eksekutif (terutama BEM) dan bingung akan memilih salah satu foto yang terpampang di surat suara, dimana kemungkinan kita benar-benar mengenal calon ketua di foto-foto tersebut amatlah kecil. Patut diingat bahwa pemilihan raya adalah hajatan demokratis tahunan yang menghabiskan banyak biaya untuk mempersiapkan kotak suara, mengeprint surat suara hingga ratusan-ribuan lembar, yang nantinya dibuang begitu saja setelah semua acara selesai dan pemimpin baru telah dipilih. Dibalik semua itu, selalu terdapat mahasiswa lain yang sejajar dengan kira yang akan dipimpin oleh ketua HMTP, BEM-FT, dan BEM-KM. Siapapun yang terpilih nantinya tetap akan memberikan pengaruh (sekecil apapun itu) , bukan hanya terhadap kita, namun juga terhadap ratusan mahasiswa lain di Jurusan dan ribuan mahasiswa lain di Fakultas Teknik dan Universitas Diponegoro.

(Semarang, 18/12/2015)